Flexing, Social Currency dan Doxing
oleh Koh Géong 莫 哿* (Widiatmoko)
Tren yang akhir-akhir ini mempublik, meruang dan mewaktu serta menempati level teratas dalam jagat netizen adalah flexing. Musabab menjadikannya demikian tak bukan karena secara fenomenal banyaknya esensi filosofi old money kian bergeser dengan abainya makna 'time is taking' (waktu itu tak berulang) yang menyiratkan perjuangan meraih sukses termasuk di dalamnya adalah harta bukan sesuatu yang instan. Generasi baby boomer sadar betul tentang old money bahwa uang itu sebagai perkalian antara waktu, usaha dan blessing. Uang itu sakral - money is old. Kesakralannya menjadikannya tabu dipamerkan. Individu demikian cenderung menjadikan dirinya untuk tidak spotlight. Ada rasa malu untuk memamerkan kekayaannya. Umumnya individu seperti ini telah mencapai self-esteem-nya Maslow. Validasinya telah dimiliki dengan sendirinya. Namun, tidak menutup kemungkinan ia aman. Boleh jadi ada pihak lain entah itu anaknya atau bahkan pacarnya yang justru melakukan flexing.
Flexing mulanya memang sebagai bagian dari image branding lalu bergeser ke personal branding dan menjadi bagian dari teknik pemasaran, baik itu dirinya maupun organisasinya untuk tujuan tertentu. Beragam bentuknya. Curriculum vitae salah satunya. Latar pendidikan, prestasi yang pernah diraihnya, career path, kiprah, jabatan, karya dan sejumlah capaian lainnya juga bagian dari flexing dengan tujuan meyakinkan pihak yang dituju membutuhkan profilnya. Seiring dengan waktu, flexing bergeser menjadi deretan benda tangible yang dipertontonkan, seperti jaket mahal, tas mahal, sepatu mahal, liburan ke luar negeri, bahkan mobil-mobil mewah koleksinya. Perilaku flexing menjadi selebrasi menggejala secara komunal di kelompok-kelompok atau perkumpulan tertentu. Tak sedikit selebriti melakukannya secara memviral dalam jagat maya. Saringan memfilter bagi masyarakat awam masih sangat lemah. Hampir tidak ada yang mengedukasi bahwa mendengar dan mencontoh perilaku flexing untuk hal yang bersifat barang, terlebih kemewahan, merupakan perilaku negatif. Perilaku itu memuai. Ditiru publik dengan tanpa saringan. Musuh utamanya dari flexing, jika kemudian tertangkap untuk kepentingan yang merugikan banyak pihak, adalah doxing. Doxing merupakan tindakan untuk mengulik dan menyebarluaskan informasi atau data pribadi individu atau organisasi kepada publik.
Publik seolah geram jika ada oknum individu atau sekelompok tertentu yang anomali dengan fakta sosial lalu ber-flexing dan memposisikan dirinya kian berjarak. Ia yakin betul itu merupakan cara meng-upgrade dirinya meraih self-esteem, padahal itu keliru. Ia seolah tak sadar jika kemudian berisiko mengalami tindakan doxing dari pihak lain.
Benar tidak kah individu yang kaya asli itu tidak suka pamer? Sekarang aneh, yang kaya itu bapaknya, yang flexing itu anaknya. Bapaknya yang kaya, siapa yang pamer? Anaknya. Bahkan pacarnya. Fenomena aneh. Saya meyakini ada nomena yang hingga hari ini belum terungkap. Betul, uang itu tidak bisa membeli kebahagiaan. Dalam konteks sosial, uang itu tidak bisa membuat kebahagiaan secara langsung tapi uang bisa digunakan untuk membeli sesuatu yang membuat seseorang merasa bahagia.
Saya flashback beberapa waktu silam. Fenomena flexing pernah berujung pada investasi bodong. Sekarang tren baru bahwa anak orang kaya memakai harta bapaknya. Ada apa ya dengan gejala yang dalam psikologi ini menjadi atensi publik? Sebelum ada teknologi dan media sosial, flexing memang sudah ada sedari dulu. Kini, flexing sebagai social signalling. Bertemu pacar dengan mobil baru, bahkan. Pakai mobil baru itu signal link yang mengindikasikan level mampu. Secara ekonomi memang untuk membeli dan menggunakan hal tersebut sebagai wujud level mampu sebagai hal lazim. Namun demikian, sejak hadirnya media sosial hal ini menjadi intensifying - bahkan karena audience-nya kian banyak, maka tendensinya telah bergeser dengan mulai mengkuantifikasi seberapa orang atau followers-nya, yang kemudian mendudukkan dirinya berada pada level pengaruh. Kian banyak yang like dan follow, kian menarik kehidupannya. Fenomena generasi zilenial seperti ini, umumnya. Perilaku demikian tentu mengantribusi profilnya dengan status ekonomi sosial tertentu. Faktualnya, audience paham bahwa sebetulnya di balik layar adalah flexing belaka. Pelaku flexing ini signalling tetapi tidak linier dengan pertanyaan selanjutnya apakah uangnya atau uang bapaknya.
Seseorang ada potensi untuk mengantribusikan dirinya dengan profil tertentu yang menjadikan publik terkesima. Profiling diri. Lepas dari bagaimana status ekonomi tertentu itu diraihnya. Ada faktor psikologi keluarga yang karena orang tuanya sangat sibuk dan berkarier moncer kemudian abai dengan keluarganya. Istri atau suaminya dan anak-anaknya mencari cara untuk mendapat pengakuan oleh pihak lain. Mereka melakukannya. Reward, pujian atau salutation akan diraihnya bukan dari orang terdekatnya. Karena tak ada cara lain kecuali flexing-lah yang dilakukannya. Mereka butuh eksistensi dan pengakuan dari pihak lain. Dan, media sosial menjadi bridging untuk ini. Mereka kemudian tak jarang yang suami atau istrinya bahkan juga spotlight dan mencari atensi publik bahwa ini keadaan dirinya sekarang. Sudah sukses. Sudah meraih semua mimpi, dan lain sebagainya.
Kepribadian seperti ini yang dalam psikologi menjadi bahasan mendetil tentang prototipe pola asuh keluarga. Bagaimana pola asuh mereka di rumah? Faktor makro ekonomi dan kesenjangan sosial lebih tinggi yang berkecenderungan mereka lebih punya tendensi merasa memiliki entitas. Mereka merasa lebih berhak untuk melakukan apa yang mereka inginkan, mendapatkan apa yang mereka kehendaki, dan lain sebagainya. Ada riset yang kini membuat tercengang. Banyak kalangan ekonomi atas yang orang tuanya hanya bilang "yes" dan mengiyakan apa yang anaknya minta. Mereka tidak mengajarkan bagaimana susahnya mendapatkan uang, berapa lama mengumpulkan uang. Ada yang missing dari anak-anak mereka di rumah. Mereka mencari atensinya di luar rumah. Kepribadian seperti itu membentuk identitas mereka sendiri dengan komunitasnya. Mereka mendapatkan atensi dan juga validasi yang sebetulnya merupakan validasi dari kehidupan mereka yang mereka persepsikan seperti apa yang diinginkan. Mereka tidak tahu apakah itu income pribadi anaknya atau orang tuanya, yang terpenting adalah mereka telah mendapatkan tersebut dari lingkungan terutama dari media sosialnya.
Bagaimana orang tua menyikapinya? Bagaimana harusnya orang tua mendidik anak di dalam keluarga untuk menghargai uang bukan untuk memamerkannya? Yang terpenting adalah ajarkan anak-anak tentang definisi dan value dari uang. Mereka harus diberikan pemahaman bahwa untuk mendapatkan uang itu tidak instan. Ada banyak proses yang harus dilalui. Proses melalui kerja keras, usaha melalui waktu yang tidak instan itu menjadikan mereka bisa tahu dan sadar bahwa apa yang mereka dapatkan itu merupakan suatu proses panjang. Inilah yang mungkin menjadi stereotipe anak-anak sekarang.
Memang, uang itu tidak pernah salah. Tetapi kebagaimanaannya itu bergantung pada mindset-nya. Bagaimana uang dilihat dan ada value-nya?
Kembali ke flexing. Flexing telah mengalami pergeseran makna. Fokusnya pun bergeser untuk shifting, dari flexing menjadi sustaining dan protecting. Mereka melakukan bagaimana agar mereka bisa memproteksi kekayaan mereka dan menjadi sustain ke generasi bawahnya. Untuk orang kaya asli self-esteem-nya telah bergeser ke level sekunder yakni untuk apa menunjukkannya ke publik. Mereka paham betul mereka telah meraih self-esteem ini dan telah terbentuk. Mereka tidak butuh validasi melalui media sosial dan memprovokasi publik untuk like dan follow. Mereka telah memiliki personal image-nya. Memang di era gic-chick ini, potensi dan dorongan untuk flexing selalu ada. Tapi kendali diri bahwa kelimpahan diri itu tak sewajarnya menjadi diketahui khalayak. Mereka memilihnya anonymousity bahwa tabu dan kerahasiaan itu wilayah privat yang butuh proteksi. Mereka menghindari spotlight. Mereka hanya butuh rasa secure.
Kebahagiaan merupakan visi hidup setiap orang. Takarannya adalah saat bertemu dengan yang dibutuhkan, saat itu ada. Itu definisinya. Dalam psikologi, kebahagiaan itu bukan materiil. Ia mental. Uang tidaklah mampu membeli kebahagiaan. Uang pun tidaklah mampu membeli waktu. Uang ada dalam deretan waktu. Dan, bahagia selalu ada dalam waktunya. Setiap individu mengalaminya berbeda. Kekuatan uang bukan pada kemampuannya untuk membeli barang dan keinginan tetapi pada kemampuannya membeli waktu. Dan waktu sampai akhir masa tidak akan pernah bisa dibeli.
Dengan demikian, secara sadar bahwa pengetahuan seseorang tentang uang dan waktu akan secara sederhana diungkapkan dalam kalimat pendek "yang lebih mahal dari uang itu adalah waktu". Waktu tidak pernah bisa diulang. Waktu tidak pernah bisa diambil. Tapi, waktu bisa hilang dan tidak bisa diambil kembali. Ia pergi begitu saja.
Uang bisa bermanfaat untuk sebagian dari waktu yang dimiliki untuk menjalani aktivitas. Bayangkan, seseorang yang segala fasilitasnya super mewah, punya ini dan itu, lalu saat berada di kemacetan, apa yang dirasakan? Bisakah ia mampu membeli waktu untuk terhindar dari macet? Tidak bisa.
Dalam filsafat perenial, rasa nyaman itu ultimate goal-nya. Capaian derajat pada goal yang dituju merupakan social currency yang tidak selamanya berbanding lurus dengan uang itu sendiri. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan secara langsung. Namun demikian, uang bisa memberdayakan seseorang menjadi sadar untuk mendapatkan sesuatu dan menggunakan waktu untuk membuatnya lebih bahagia. Jadi, uang bukan satu-satunya faktor menjadikan seseorang itu bahagia. Mengapa demikian? Jawabnya, karena uang ada pada kondisinya masing-masing. Tidak sedikit, seseorang dengan kedatangan uang berlimpah tidak mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, tidak jarang seseorang yang mungkin lebih rendah kedatangan uangnya namun menikmati kebahagiaan melebihi frekuensi di atas rata-rata kebanyakan yang tidak.
Mari bandingkan, seseorang yang dengan status ekonomi sosial tinggi kemudian terlalu sibuk bekerja dan tidak lagi memiliki waktu untuk anak dan keluarga di rumah. Bahagiakah? Mari juga lihat seseorang yang kedatangan uangnya pas-pasan namun secara penuh mereka bisa bersama keluarga dan berinteraksi sosial. Tidakkah ia bahagia?
Menjadi menyedihkan tentu jika anak-anak masa depan saat ini telah punya yang belum pada saatnya. Banyak hal di balik layar yang kebanyakan tidak diketahui keadaan sebenarnya. Yang selalu salah itu adalah saat publik men-treat media sosial sebagai truth atau sebuah kepastian. Paramaternya bukan itu.
Media tidak pernah salah dan bohong. Media tidak pernah tahu betul tentang seseorang. Namun demikian, dari media seseorang bisa tahu banyak. Itu pun yang sifatnya baik-baik saja. Ironi jika seseorang mendevaluasi dirinya dengan media. Histeris, panik, merasa tidak sesukses dari yang lain, tidak berdaya, tidak berharga, tidak layak, dan kalimat-kalimat merendahkan lainnya merupakan hal-hal yang membahayakan diri. Namanya saja dunia maya, maka ya maya, tidak ada, tidak banyak fakta benar.
Konsumsilah sewajarnya saja sebab orang literat itu sudah tahu di balik itu seperti apa. Janganlah jadikan media sebagi benchmark tentang kehidupan seseorang saat ini dengan kehidupan orang-orang lain di media sosial. Pastinya, akan lebih makan hati, bukan?
Saat ini gegara ulah anak, akhirnya harta orang tua diobok-obok bahkan di-doxing sedemikian hingga para netizen mengetahui semuanya.
Memang diam-diam sebenarnya ada apa ya motivasi orang tuanya sendiri yang berlatar belakang pejabat publik kemudian flexing? Beberapa hipotesis menyatakan bahwa dia ingin menunjukkan hardwork-nya. Hard work sebagai social currency-nya. Ia ingin publik tahu bagaimana ia kerja keras hingga meraih posisi jabatan sekarang. Padahal publik tidak pernah tahu bagaimana posisi tersebut diraih sebenarnya. Flexing itu hanya salah satu motif untuk menunjukkan bahwa ini hasil kerja kerasnya.
5 Mar 2023
*Koh Géong 莫 哿 (Widiatmoko) - Pemerhati Perilaku Sosial